Dualitas Pagi Hari - Goro-Goro Art Project 2008
Dualitas Pagi Hari (2008)
Installation, Performance, Photo Documentation
Konsep: Feri Pradigdo, Performance: Feri Pradigdo & Gerry Abram Picasso, Foto Dokumentasi: Wahid
Installation, Performance, Photo Documentation
Konsep: Feri Pradigdo, Performance: Feri Pradigdo & Gerry Abram Picasso, Foto Dokumentasi: Wahid
Dualitas pagi hari adalah karya bermain sebagai sebuah respon terhadap angkutan umum, karya ini berangkat dari apa yang pernah saya lihat dan alami dengan itu mungkin sangat personal sekali. Ada dua sudut pandang pengalaman peristiwa yang saya pikirkan ketika itu:
Kronologi Pertama:
Dikota besar ketika ketenangan di malam hari mendadak berubah menjadi pagi hari, dan setiap orang ingin kembali lagi berlari dengan sangat cepat. Setiap dari mereka berkejaran dengan waktu tak terkecuali sarana angkutan umum dari yang terbesar hingga yang terkecil menjadi tak terkendali, seperti tak perduli keselamatan penumpang dan orang banyak (pejalan kaki dan pemakai kendaraan lain). Kemudian saya juga merasa 'kesadaran' ini (supir maksudnya) dihadapkan pada kenyataan bahwa banyaknya persaingan membuat sang supir berbuat demikian, selain ia juga mempunyai waktu yang sangat pendek untuk memberikan hasil setorannya kepada pemilik kendaraan.
Kronologi Kedua:
Ada dua hal lagi pada kronologi yang kedua yang saya ingat:
Pertama: ketika saya memiliki saudara yang tinggal di daerah pedesaan lebih tepatnya di daerah klaten, sebuah kota yang tidak terlalu kecil dan diapit oleh dua kota besar Solo dan Yogya. Sekali waktu saya pernah kesana, dan harus dua kali menaiki bus kota. Untuk perjalanan pertama saya harus melewati jalan Jogja-Solo yang saya anggap jalan protokol utama atau jalan besar penghubung antar kota, dimana kemudian saya harus menaiki angkutan umum besar dengan begitu cepatnya, apalagi jika kemudian angkutan umum yang saya tumpangi ada beberapa bus lain dengan jurusan yang sama mereka akan kebut-kebutan dan saling mendahului untuk memperoleh penumpang. Hal ini saya anggap sebagai sama dengan kronologi yang pertama.
Kedua: untuk perjalanan kedua saya harus menaiki kendaraan umum yang lebih kecil dimana kendaraan umum itu melewati beberapa daerah persawahan dan ladang-ladang yang luas. Angkutan umum ini terasa begitu lambat sekali bahkan kalau bisa diukur seharusnya perjalanan kedua saya yang memakan waktu kurang lebih lima belas menit menjadi 1,5 jam. Pernah hal ini sekali waktu saya tanyakan kepada bude saya dan jawabannya: karena disekitar sini masyarakat yang rata-rata pekerjaan nya adalah bertani menjalankan mobilitasnya sehari-hari dengan jalan kaki ataupun menaiki kendaraan pribadi maksudnya (sepeda atau motor). Karena mereka mempunyai penghidupan dari hasil bertani jadi mereka tak pernah berkejaran dengan waktu seperti pekerja kantoran. Selain itu disini sedikit sekali angkutan umum tersebut tersedia jadi persaingan antar supir sangat sedikit sekali sehingga mobil tersebut tak perlu saling berkejar-kejaran.
Pada saat itu tempat dimana saudara saya tinggal merupakan kawasan dengan sedikit pedesaan yang ada di Klaten tepatnya di daerah Karanganom. Jika dari Jogja saya selelu berhenti di terminal Penggung dan kemudian melanjutkan untuk menaiki mobil angkutan kecil untuk sampai didesa tersebut. Mobil angkutan yang saya maksud adalah angkutan kecil (angkot) yang sama seperti biasanya, namun menjadi sangat berbeda dengan angkot yang pernah saya naiki lainnya ketika angkot ini bergerak dengan sangat lambat sekali. Meskipun demikian mobil tersebut terkadang berjalan cepat hanya diwaktu-waktu tertentu, salah satunya seperti ketika berangkat dan bubaran anak-anak sekolah. Selain itu karena minimnya mobil angkutan umum yang tersedia, jika mobil ini sudah penuh (di bagian dalam maksudnya) para penumpang bisa naik hingga bemper belakang mobil tentu sambil berpegangan pada celah dan sisi2 yang ada diseputar bodi belakang mobil.
Pembuatan karya ini dibantu oleh dua teman saya Gerry Abram Picasso dan Wahid sebagai dokumentasi. Karya kemudian dipamerkan di Taman Budaya Surakarta dalam event "Goro-Goro Art Project".
Kronologi Pertama:
Dikota besar ketika ketenangan di malam hari mendadak berubah menjadi pagi hari, dan setiap orang ingin kembali lagi berlari dengan sangat cepat. Setiap dari mereka berkejaran dengan waktu tak terkecuali sarana angkutan umum dari yang terbesar hingga yang terkecil menjadi tak terkendali, seperti tak perduli keselamatan penumpang dan orang banyak (pejalan kaki dan pemakai kendaraan lain). Kemudian saya juga merasa 'kesadaran' ini (supir maksudnya) dihadapkan pada kenyataan bahwa banyaknya persaingan membuat sang supir berbuat demikian, selain ia juga mempunyai waktu yang sangat pendek untuk memberikan hasil setorannya kepada pemilik kendaraan.
Kronologi Kedua:
Ada dua hal lagi pada kronologi yang kedua yang saya ingat:
Pertama: ketika saya memiliki saudara yang tinggal di daerah pedesaan lebih tepatnya di daerah klaten, sebuah kota yang tidak terlalu kecil dan diapit oleh dua kota besar Solo dan Yogya. Sekali waktu saya pernah kesana, dan harus dua kali menaiki bus kota. Untuk perjalanan pertama saya harus melewati jalan Jogja-Solo yang saya anggap jalan protokol utama atau jalan besar penghubung antar kota, dimana kemudian saya harus menaiki angkutan umum besar dengan begitu cepatnya, apalagi jika kemudian angkutan umum yang saya tumpangi ada beberapa bus lain dengan jurusan yang sama mereka akan kebut-kebutan dan saling mendahului untuk memperoleh penumpang. Hal ini saya anggap sebagai sama dengan kronologi yang pertama.
Kedua: untuk perjalanan kedua saya harus menaiki kendaraan umum yang lebih kecil dimana kendaraan umum itu melewati beberapa daerah persawahan dan ladang-ladang yang luas. Angkutan umum ini terasa begitu lambat sekali bahkan kalau bisa diukur seharusnya perjalanan kedua saya yang memakan waktu kurang lebih lima belas menit menjadi 1,5 jam. Pernah hal ini sekali waktu saya tanyakan kepada bude saya dan jawabannya: karena disekitar sini masyarakat yang rata-rata pekerjaan nya adalah bertani menjalankan mobilitasnya sehari-hari dengan jalan kaki ataupun menaiki kendaraan pribadi maksudnya (sepeda atau motor). Karena mereka mempunyai penghidupan dari hasil bertani jadi mereka tak pernah berkejaran dengan waktu seperti pekerja kantoran. Selain itu disini sedikit sekali angkutan umum tersebut tersedia jadi persaingan antar supir sangat sedikit sekali sehingga mobil tersebut tak perlu saling berkejar-kejaran.
Pada saat itu tempat dimana saudara saya tinggal merupakan kawasan dengan sedikit pedesaan yang ada di Klaten tepatnya di daerah Karanganom. Jika dari Jogja saya selelu berhenti di terminal Penggung dan kemudian melanjutkan untuk menaiki mobil angkutan kecil untuk sampai didesa tersebut. Mobil angkutan yang saya maksud adalah angkutan kecil (angkot) yang sama seperti biasanya, namun menjadi sangat berbeda dengan angkot yang pernah saya naiki lainnya ketika angkot ini bergerak dengan sangat lambat sekali. Meskipun demikian mobil tersebut terkadang berjalan cepat hanya diwaktu-waktu tertentu, salah satunya seperti ketika berangkat dan bubaran anak-anak sekolah. Selain itu karena minimnya mobil angkutan umum yang tersedia, jika mobil ini sudah penuh (di bagian dalam maksudnya) para penumpang bisa naik hingga bemper belakang mobil tentu sambil berpegangan pada celah dan sisi2 yang ada diseputar bodi belakang mobil.
Pembuatan karya ini dibantu oleh dua teman saya Gerry Abram Picasso dan Wahid sebagai dokumentasi. Karya kemudian dipamerkan di Taman Budaya Surakarta dalam event "Goro-Goro Art Project".
#Performance Art, #Installation, #Goro-Goro Art Event