Screening Movie JAGAL (The Act of Killing) by Joshua Oppenheimer di Kantor Berita ANTARA
image reference from movie poster (ink on paper, digital coloring, 2023)
Sedikit cerita menonton
Jujur saja film ini cukup menarik perhatian saya ketika untuk pertama kalinya saya membaca ulasan mengenai film ini dari jurnal film online. Beberapa kali juga saya dibuat begitu penasaran tentang film ini, yang mana pada awalnya saya sendiri selalu berharap "bisa menonton film ini suatu saat". Harapan tersebut kemudian datang begitu saja ketika salah seorang teman saya menawari: "ada undangan menonton film gratisan nih dari dosen gw lo mau ikut ga?" (tentunya tawaran tersebut mengenai film yang saya maksud), sontak saja saya menjawab "mau" kemudian teman saya mencoba untuk mengkonfirmasi hal tersebut ke dosennya lagi.
Sebenarnya pemutaran film tersebut bersifat tertutup dan hanya beberapa orang saja yang diundang untuk datang, terlebih untuk para apresian yang ingin menonton diharuskan melalui pendaftaran dan pendataan terlebih dahulu. Melalui hal serumit itu bisa terbayang dibenak saya waktu itu: ini adalah acara yang sayang jika dilewatkan, apalagi mengingat saya sedang punya banyak waktu luang pada saat ini :). Lain hal lagi yang sempat terpikirkan oleh saya ketika menerima ajakan teman waktu itu, terlebih tentang undangan tertutup tersebut. Hal pertama yang ada dibenak saya adalah: "kenapa ya?ada apa? (dengan film tersebut maksudnya)" dan saya pun baru tersadar setelahnya: "cerita pada film ini kan begitu sangat menuai kontroversi dan membahas satu golongan tertentu, jadi wajar saja jika penonton yang ingin mengapresiasi film ini pun juga sangat terbatas".
Beberapa hari kemudian saya tidak mendapat kabar lagi dari teman saya soal agenda menonton tersebut, dengan sedikit perasaan bimbang saya mencoba menghubungi teman saya kembali. Tak lama berselang melalui pesan singkat lewat smsnya dia mengabarkan bahwa dia 'lupa' untuk menghubungi dosen yang menawarkan undang gratis tersebut, tentunya hal tersebut kemudian membuat saya terkaget. Namun tak lama berselang teman saya kembali memberi kabar melalui pesan singkatnya: bahwa saya sudah didaftarkan dan memberi tahu kapan film akan diputar dan lain sebagainya "duh betapa senangnya :))".
Kemudian hari yang ditunggu pun tiba ketika minggu pagi yang cerah itu bertepatan dengan hari H pemutaran film, saya mendapat forward-an sms dari panitia penyelenggara melalui teman saya yang mengatakan "film akan diputar jam 14.00 dan setengah jam sebelum film dimulai penonton diharapkan datang untuk melakukan registrasi (mendaftarkan diri kembali)". Diantara semua pesan tersebut yang paling menarik adalah peringatan singkat: "sebelum acara ini usai diharapkan para penonton untuk tidak me-tweet atau meng update status tentang acara ini melalui sosial media" pesan tersebut demi menghindari hal-hal yang tidak diinginkan terjadi. Peringatan singkat tersebut memungkinkan saya untuk sedikit percaya, "jika seandainya hal tersebut dilakukan mungkin bakal ada sesuatu hal yang tak diinginkan dapat terjadi dan saya sebagai partisipan juga tak mau hal buruk terjadi" sembari membayangkan acara apa yang saya ingin ikuti ini "seperti halnya acara yang menantang adrenalin saja, padahal kan hanya menonton film". :D
Minggu siang itu sehabis zuhur dan jam makan siang saya menuju ke lokasi sembari tersenyum-senyum bahwa saya akan menonton film yang sangat saya inginkan. Sesampainya disana saya bertemu teman saya dan kami berdua mampir untuk mengobrol sebentar diwarung kopi yang tak jauh dari lokasi. Setelah bersantai di warung kopi kami berdua pun kembali menuju lokasi, dan selanjutnya kedalam ruangan tempat pemutaran film berlangsung. Tampak beberapa panitia acara sudah berada di depan pintu masuk untuk membagikan buku-buku secara gratis, ada yang berbentuk komik dan buku kosong untuk mencatat kejadian. Disaat saya ingin mengambil buku tersebut salah seorang panitia Mas Arief Adietyawan yang juga salah seorang dosen teman saya sempat berkata: "buku-buku kosong ini digunakan untuk mencatat dan dibagikan secara gratis agar perilaku mencatat dapat menjadi tradisi serta kebiasaan bagi kita bersama". Kata tersebut menimbulkan kesan buat saya, karena selama ini kebanyakan orang termasuk juga saya selalu melewatkan "peristiwa"-nya sendiri tanpa pernah tercatat. Walaupun saya sendiri menyadari bahwa memory seseorang selalu merekam jejak peristiwa yang dialaminya jadi proses mencatat adalah bagian yang percuma. Namun dari hal tersebut saya juga perlu menyadari kembali adakalanya juga seseorang dapat melupa peristiwanya sendiri. Pada posisi ini kemudian perilaku mencatat agaknya menjadi sebuah solusi yang memang benar adanya :)
Selanjutnya kami berdua memasuki ruangan pemutaran dan memilih duduk pada barisan depan. Namun setelahnya film hingga saat itu masih belum juga diputar, mungkin karena menunggu partisipan yang lain datang. Sembari menunggu, panitia kemudian menawarkan kami (penonton) makanan (snack) dan minuman ringan. Kemudian lima menit sebelum acara berlangsung seorang panitia Mas Arief Adietyawan sebagai penyelenggara mulai memperkenalkan diri diikuti dengan kata sambutan dari pihak ANTARA yang diwakili oleh Oscar Matuloh. Setelah acara seremonial itu usai, barulah kemudian film dimulai.
Sedikit cerita tentang film
Diperkenalkanlah para penonton pada seorang tokoh utama dalam film Anwar Congo. Anwar Congo pada awalnya adalah seorang preman bioskop yang sangat menyukai film-film koboi, gangster dan tema kekerasan lainnya. Anwar Congo adalah salah seorang preman yang dalam bahasa inggrisnya "free man", pernah merasa dirugikan ketika pada tahun 65'' paham komunisme melabelkan film barat sebagai sebuah film yang berbau kolonialisme. Sehingga akibat dari hal tersebut bioskop yang memutar film-film barat menjadi sepi penonton, imbasnya Anwar yang bekerja sebagai tukang catut tiket merangkap preman diwilayah tersebut menjadi kehilangan mata pencaharian-nya. Hal tersebut merupakan satu dari sekian banyak masalah yang dipaparkan Anwar mengenai keadaan pada waktu itu. Melalui sudut pandang seperti inilah yang kemudian membuat penonton tersadar, kenapa Anwar bisa sangat kejam terhadap orang-orang yang dituduh komunis pada saat itu.
Kemudian lain cerita lagi ketika Anwar sedikit naik tahta dari preeman tukang catut tiket bioskop menjadi anggota dari elemen organisasi pemuda paramiliter yang dikenal dengan nama Pemuda Pancasila. Melalui seorang Anwar kemudian kita dapat mengerti bahwa Pemuda Pancasila kemudian adalah satu dari beberapa elemen lain (selain tentara) yang bertanggung jawab atas tragedi besar di tahun tersebut, lebih khususnya di film ini adalah daerah Sumatera Utara (Medan).
Keseluruhan sudut pandang film ini dilihat dari kacamata pengakuan Anwar Congo dan beberapa temannya. Melalui rekaman peristiwa antara Anwar dan teman-temannya pemirsa diajak kembali pada simulasi-simulasi pembantaian yang dilakukan Anwar dan teman-temannya pada tahun 65'. Dimana Anwar melakukan rekonstruksi ulang bagaimana cara ia membunuh orang-orang yang dituduh PKI pada waktu itu, sembari berbagi pengalaman personal Anwar yang lain: seperti mimpinya untuk membuat film dimana pada film tersebut Anwar ingin menunjukkan betapa heroik dirinya, kemudian cerita latar belakang keluarga dan orang-orang sekitarnya, berbicara situasi politik pada masa itu, mimpi-mimpi seram, ataupun tangisan penyesalan Anwar atas pembantaian keji yang telah ia lakukan bersama teman-temannya pada waktu itu.
Untuk review film dapat dibaca di Wikipedia atau ulasan menarik melalui Jurnal Footage dan Gatra (online). Ulasan lebih lengkapnya lagi dapat dilihat di official website resminya The Act of Killing. Buku-buku yang dibagikan gratis sebagai merchandise diprakarsai oleh Grafis Sosial. Terdapat 3 ilustrasi pada cover buku-buku yang dibagikan tersebut. Sedangkan ilustrasi pada buku yang saya ambil menggambarkan "sila pertama pancasila". Mengenai pemutaran film yang saya saksikan tidak mengalami satupun editan (uncut), sebagaimana yang sudah banyak diketahui bahwa film tersebut terbagi dalam dua versi. :)
Jujur saja film ini cukup menarik perhatian saya ketika untuk pertama kalinya saya membaca ulasan mengenai film ini dari jurnal film online. Beberapa kali juga saya dibuat begitu penasaran tentang film ini, yang mana pada awalnya saya sendiri selalu berharap "bisa menonton film ini suatu saat". Harapan tersebut kemudian datang begitu saja ketika salah seorang teman saya menawari: "ada undangan menonton film gratisan nih dari dosen gw lo mau ikut ga?" (tentunya tawaran tersebut mengenai film yang saya maksud), sontak saja saya menjawab "mau" kemudian teman saya mencoba untuk mengkonfirmasi hal tersebut ke dosennya lagi.
Sebenarnya pemutaran film tersebut bersifat tertutup dan hanya beberapa orang saja yang diundang untuk datang, terlebih untuk para apresian yang ingin menonton diharuskan melalui pendaftaran dan pendataan terlebih dahulu. Melalui hal serumit itu bisa terbayang dibenak saya waktu itu: ini adalah acara yang sayang jika dilewatkan, apalagi mengingat saya sedang punya banyak waktu luang pada saat ini :). Lain hal lagi yang sempat terpikirkan oleh saya ketika menerima ajakan teman waktu itu, terlebih tentang undangan tertutup tersebut. Hal pertama yang ada dibenak saya adalah: "kenapa ya?ada apa? (dengan film tersebut maksudnya)" dan saya pun baru tersadar setelahnya: "cerita pada film ini kan begitu sangat menuai kontroversi dan membahas satu golongan tertentu, jadi wajar saja jika penonton yang ingin mengapresiasi film ini pun juga sangat terbatas".
Beberapa hari kemudian saya tidak mendapat kabar lagi dari teman saya soal agenda menonton tersebut, dengan sedikit perasaan bimbang saya mencoba menghubungi teman saya kembali. Tak lama berselang melalui pesan singkat lewat smsnya dia mengabarkan bahwa dia 'lupa' untuk menghubungi dosen yang menawarkan undang gratis tersebut, tentunya hal tersebut kemudian membuat saya terkaget. Namun tak lama berselang teman saya kembali memberi kabar melalui pesan singkatnya: bahwa saya sudah didaftarkan dan memberi tahu kapan film akan diputar dan lain sebagainya "duh betapa senangnya :))".
Kemudian hari yang ditunggu pun tiba ketika minggu pagi yang cerah itu bertepatan dengan hari H pemutaran film, saya mendapat forward-an sms dari panitia penyelenggara melalui teman saya yang mengatakan "film akan diputar jam 14.00 dan setengah jam sebelum film dimulai penonton diharapkan datang untuk melakukan registrasi (mendaftarkan diri kembali)". Diantara semua pesan tersebut yang paling menarik adalah peringatan singkat: "sebelum acara ini usai diharapkan para penonton untuk tidak me-tweet atau meng update status tentang acara ini melalui sosial media" pesan tersebut demi menghindari hal-hal yang tidak diinginkan terjadi. Peringatan singkat tersebut memungkinkan saya untuk sedikit percaya, "jika seandainya hal tersebut dilakukan mungkin bakal ada sesuatu hal yang tak diinginkan dapat terjadi dan saya sebagai partisipan juga tak mau hal buruk terjadi" sembari membayangkan acara apa yang saya ingin ikuti ini "seperti halnya acara yang menantang adrenalin saja, padahal kan hanya menonton film". :D
Minggu siang itu sehabis zuhur dan jam makan siang saya menuju ke lokasi sembari tersenyum-senyum bahwa saya akan menonton film yang sangat saya inginkan. Sesampainya disana saya bertemu teman saya dan kami berdua mampir untuk mengobrol sebentar diwarung kopi yang tak jauh dari lokasi. Setelah bersantai di warung kopi kami berdua pun kembali menuju lokasi, dan selanjutnya kedalam ruangan tempat pemutaran film berlangsung. Tampak beberapa panitia acara sudah berada di depan pintu masuk untuk membagikan buku-buku secara gratis, ada yang berbentuk komik dan buku kosong untuk mencatat kejadian. Disaat saya ingin mengambil buku tersebut salah seorang panitia Mas Arief Adietyawan yang juga salah seorang dosen teman saya sempat berkata: "buku-buku kosong ini digunakan untuk mencatat dan dibagikan secara gratis agar perilaku mencatat dapat menjadi tradisi serta kebiasaan bagi kita bersama". Kata tersebut menimbulkan kesan buat saya, karena selama ini kebanyakan orang termasuk juga saya selalu melewatkan "peristiwa"-nya sendiri tanpa pernah tercatat. Walaupun saya sendiri menyadari bahwa memory seseorang selalu merekam jejak peristiwa yang dialaminya jadi proses mencatat adalah bagian yang percuma. Namun dari hal tersebut saya juga perlu menyadari kembali adakalanya juga seseorang dapat melupa peristiwanya sendiri. Pada posisi ini kemudian perilaku mencatat agaknya menjadi sebuah solusi yang memang benar adanya :)
Selanjutnya kami berdua memasuki ruangan pemutaran dan memilih duduk pada barisan depan. Namun setelahnya film hingga saat itu masih belum juga diputar, mungkin karena menunggu partisipan yang lain datang. Sembari menunggu, panitia kemudian menawarkan kami (penonton) makanan (snack) dan minuman ringan. Kemudian lima menit sebelum acara berlangsung seorang panitia Mas Arief Adietyawan sebagai penyelenggara mulai memperkenalkan diri diikuti dengan kata sambutan dari pihak ANTARA yang diwakili oleh Oscar Matuloh. Setelah acara seremonial itu usai, barulah kemudian film dimulai.
Sedikit cerita tentang film
Diperkenalkanlah para penonton pada seorang tokoh utama dalam film Anwar Congo. Anwar Congo pada awalnya adalah seorang preman bioskop yang sangat menyukai film-film koboi, gangster dan tema kekerasan lainnya. Anwar Congo adalah salah seorang preman yang dalam bahasa inggrisnya "free man", pernah merasa dirugikan ketika pada tahun 65'' paham komunisme melabelkan film barat sebagai sebuah film yang berbau kolonialisme. Sehingga akibat dari hal tersebut bioskop yang memutar film-film barat menjadi sepi penonton, imbasnya Anwar yang bekerja sebagai tukang catut tiket merangkap preman diwilayah tersebut menjadi kehilangan mata pencaharian-nya. Hal tersebut merupakan satu dari sekian banyak masalah yang dipaparkan Anwar mengenai keadaan pada waktu itu. Melalui sudut pandang seperti inilah yang kemudian membuat penonton tersadar, kenapa Anwar bisa sangat kejam terhadap orang-orang yang dituduh komunis pada saat itu.
Kemudian lain cerita lagi ketika Anwar sedikit naik tahta dari preeman tukang catut tiket bioskop menjadi anggota dari elemen organisasi pemuda paramiliter yang dikenal dengan nama Pemuda Pancasila. Melalui seorang Anwar kemudian kita dapat mengerti bahwa Pemuda Pancasila kemudian adalah satu dari beberapa elemen lain (selain tentara) yang bertanggung jawab atas tragedi besar di tahun tersebut, lebih khususnya di film ini adalah daerah Sumatera Utara (Medan).
Keseluruhan sudut pandang film ini dilihat dari kacamata pengakuan Anwar Congo dan beberapa temannya. Melalui rekaman peristiwa antara Anwar dan teman-temannya pemirsa diajak kembali pada simulasi-simulasi pembantaian yang dilakukan Anwar dan teman-temannya pada tahun 65'. Dimana Anwar melakukan rekonstruksi ulang bagaimana cara ia membunuh orang-orang yang dituduh PKI pada waktu itu, sembari berbagi pengalaman personal Anwar yang lain: seperti mimpinya untuk membuat film dimana pada film tersebut Anwar ingin menunjukkan betapa heroik dirinya, kemudian cerita latar belakang keluarga dan orang-orang sekitarnya, berbicara situasi politik pada masa itu, mimpi-mimpi seram, ataupun tangisan penyesalan Anwar atas pembantaian keji yang telah ia lakukan bersama teman-temannya pada waktu itu.
Untuk review film dapat dibaca di Wikipedia atau ulasan menarik melalui Jurnal Footage dan Gatra (online). Ulasan lebih lengkapnya lagi dapat dilihat di official website resminya The Act of Killing. Buku-buku yang dibagikan gratis sebagai merchandise diprakarsai oleh Grafis Sosial. Terdapat 3 ilustrasi pada cover buku-buku yang dibagikan tersebut. Sedangkan ilustrasi pada buku yang saya ambil menggambarkan "sila pertama pancasila". Mengenai pemutaran film yang saya saksikan tidak mengalami satupun editan (uncut), sebagaimana yang sudah banyak diketahui bahwa film tersebut terbagi dalam dua versi. :)