Little Ebi (ink on paper, digital coloring, 2023) |
Si Ebi
Hari ini sabtu 9 Juli 2022. Sebelum malam takbir Iduladha juga libur akhir pekan harusnya menjadi hari menyenangkan. Sudah satu tahun lebih saya merawat Ebi kucing kampung pemberian tetangga saya. Ebi kucing yang mempunyai bentuk badan yang aneh. Pejantan tapi dengan badan gombyor seperti betina, ekornya melingkar, sekilas mirip bentuk tanda tanya. Ebi selalu setia menjadi teman akrab lembur begadang saya mengerjakan pekerjaan malam dirumah ataupun teman bercanda sejenak ketika saya belum bisa tertidur. Ebi menjadi kucing yang sangat special buat saya, membangunkan saya hampir disetiap adzan subuh, mengeong ditelinga saya ketika saya tertidur untuk meminta jatah makan. Ebi sama seperti Bule kucing anggora saya yang sudah mati satu tahun sebelumnya, seperti ada hati yang terpaut. Sabtu akhir pekan itu menjadi hari yang naas buat Ebi, sebenarnya saya seperti punya perasaan tidak enak juga untuk membolehkan Ebi keluar rumah. Kekhawatiran saya karena letak rumah saya persis didepan jalan besar perkampungan, dengan banyaknya lalu lalang kendaraan bermotor yang kencang tak tahu aturan. Namun sore itu si Ebi terus mengeong, yang membuat hati saya luluh tak tega juga hingga akhirnya saya memperbolehkannya. Sekitar setengah jam kemudian saya mendengar gaduh diluar rumah, suaranya seperti kendaraan yang berhenti mendadak dengan bersaut orang-orang berteriak, hal yang membuat kekhawatiran saya kembali memuncak. Saya beranjak keluar dari meja kerja komputer saya, membuka pintu dan melihat Ebi berlari kedalam rumah dengan sangat kencang kemudian berlari ke balkon atas rumah saya. Dengan bergegas saya menghampiri Ebi sembari agak mengutuknya: kapok kan..". Namun rasa dongkol saya luluh melihat Ebi sudah tergeletak di teras atas rumah saya sambil terengap-engap. Dari mulutnya mengeluarkan air liur banyak sekali. Saya belai dia sembari memanggil namanya. Bergegas kemudian saya turun kebawah mengambil makanan basahnya juga memberinya air minum. Namun Ebi terlihat semakin lemas, mencoba bangkit dan ambruk lagi, saya merasa ada yang salah, namun dari tanda-tanda tubuhnya tidak ada luka di badan Ebi. Sebelum ajal menjemputnya Ebi berkali-kali mencoba untuk bangkit, saya sambil menangis duduk bersimpuh disebelahnya mengelus badannya terus-menerus, mencoba mengangkatnya untuk bangkit namun Ebi terjatuh lagi. Saya coba menepuk-nepuk perutnya yg gendut itu sambil sesekali memberinya minum yang saya tuangkan ke mulutnya sekaligus mengajaknya berbicara. Saya bilang terimakasih ya bi sudah menjadi teman saya, sudah menemani saya tiap malam, saya minta maaf pada ebi kalo saya pernah salah merawat dan mengurusnya. Karena saya yakin ebi mampu mengerti apa yang saya katakan, Ebi berkali-kali lagi mencoba bangun untuk bangkit tapi terjatuh lagi seperti sudah lemas dengan matanya yang terbelalak. Akhirnya untuk terakhir kali saya spontan bergumam: ya allah jika mau diambil saya ikhlas, sambil sesengukan saya mengusap kening ebi diantara matanya seperti biasa yang tiap hari saya lakukan. Sambil terus-menerus mengucapp allahu akbar dan meminta maaf kepada Ebi. Akkhirnya saya merasakan detak jantung Ebi melemah, nafas panjang terakhirnya membuat Ebi menutup mata selamanya, dan saya akan ingat betul moment itu. Terimakasih ebi, sudah mau menjadi teman saya, semoga allah disana menyangi kamu seperti kamu menyangi saya ketika memanggil namamu dan kamu lanjut mengedipkan mata. Saya selalu akan merindukan kamu. |