Bus, Sepeda, Motor (pencil on paper, digital coloring, 2023) |
Tiga Fase: Moda Berpergian Sewaktu Kuliah di Jogja
Waktu kuliah di Jogja ada 3 fase moda berpergian pulang-pergi yang saya alami sangat berkesan hingga sekarang. Pertama sebagai anak yang besar diibukota berpergian selalu akrab dengan moda transportasi massal: seperti bus kota. Sesampai dijogja mengalami itu layaknya Achmad Albar (kemana pun naik bus kota), dari bus antar wilayah saya menyebutnya demikian; seperti jurusan Jokteng (Pojok Benteng) -Parangtritis yang letak pintunya hanya satu ditengah. Biasanya bus seperti ini kebanyakan yang saya temui tidak punya kondektur. Demikianlah kadang supir sering berhenti ditengah perjalanan untuk meminta (narik) bayaran ongkos penumpang. Nah yang menjengkelkan masuk kuliah menjadi sering terlambat. Lain hal sewaktu ramai, sang supir terkadang malas bergeser kebelakang minta bayaran (ongkos). Akhirnya penumpang biasanya sembari turun menerobos sesak penumpang (bahasa jawa: uwel-uwelan) menghampiri supir didepan untuk memberi ongkos. Jenis yang kedua bus yang berputar-putar didalam kota, biasanya bus ditandai dengan nomor jalur 2,7 dan seterusnya. Kalau bus ini banyak sekali armadanya, namun dari semua itu kekurangan menggunakan moda transportasi bus kota dijogja pada saat itu tidak beroperasinya bus hingga larut malam. Sangat teramat menjadi kendala semisal mau nonton pembukaan pameran seni yang kebanyakan dimulai pada malam hari. Fase kedua adalah bersepeda: sebelum attitude bersepeda booming semenjak covid-19, saya sudah pernah mengalami selama beberapa tahun: dari kost ke kampus, kerumah teman, ketoko buku, nonton bioskop, jalan-jalan di malioboro, cari material buat gambar, ke forum diskusi, ruang pameran dsb, saya selalu bersepeda. Hanya melakukan kegiatan ini menjadi cepat berkeringat dan lusuh. Namun sebagai anak kuliah perihal itu saya sih cuek bebek, dan untungnya saya memang orang yang tidak terlalu peduli dengan penampilan. Jadi kulit hitam berkeringat bagi saya cukup artistik apalagi ditambah embel-embel cah ISI (anak seni) wah juara itu, toh sebaliknya badan juga menjadi lebih sehat dan tidak gampang sakit. Fase ketiga memiliki kendaraan bermotor: Sekali waktu singkatnya saya pernah punya motor honda c70. Pertama beli motor klasik ini tidaklah pernah rewel, hampir tiap minggu saya mengunjungi rumah simbah di Yogya-Klaten. Namun kelamaan karena saya sadar punya motor klasik haruslah berkomunitas. Apalagi bagi yang tidak mengerti mesin sama sekali seperti saya, paling tidak sewaktu motor mogok bermasalah, tak akan kena tipu bengkel waktu diperbaiki; yang seharusnya sparepart dan service murah malah menjadi lebih mahal. Kelebihannya kemana-mana menjadi lebih cepat, berangkat kuliah santai tak perlu dikejar waktu. Begitupun mau nonton pameran siang, sore, malam pun santai, atau berpergian jauh pun tidak perlu menerawang jauhnya jarak serta ongkos yang mesti dikeluarkan, karena biarpun motor tua, soal bahan bakar jelas sangatlah irit. Seperti halnya ketika boring dikost, saya akan jalan sendiri ke daerah pegunungan (kaliurang) ataupun ke pantai (parangtritis) sekedar hanya mencari warung: menikmati rokok, kopi dan suasana (kebetulan pada saat itu saya aktif sekali merokok) setelah itu pulang kembali kekostan dengan pikiran yang rileks. |